Hijrah itu Indah

Ia memberi hikmah kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan barang siapa diberiNya hikmah, kepadanya telah diberikan kebaikan melimpah. Namun, tiada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang punya pikiran.

Q.S. Al Baqarah : 269

Hari ini ceritanya sedikit drama, boleh lah yaaa…

IMG_4144

Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah sepenggal dari kisah perjalanan manusia. Dalam perjalanan yang terasa panjang itu, banyak sekali pertanyaan yang membuat aku bingung, buat apa aku hidup di dunia? Yah, hakikat manusia itu adalah untuk bertanya. Melalui pertanyaan itulah muncul pengetahuan baru tentang kehidupan.

Awalnya, aku adalah gadis kekanak-kanakan yang selalu melakukan apapun yang aku mau dan memaksa hasilnya sebaik yang aku inginkan. Lalu, setelah aku melewati banyak hal, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku sedang melalukan pencarian makna kehidupan.

Aku memang beruntung telah lahir dan dibesarkan ditengah keluarga yang ketat mengamalkan perintah Tuhan dan Rasulnya. Namun, hal itu ternyata tidak cukup untuk mengubah pola pikir hedonis-ku. Pengaruh lingkungan memiliki peran yang sangat besar terhadap perubahanku.

Catatan hijrah-ku dimulai saat aku mendapatkan room-mate asrama yang notabene adalah seorang akhwat. Kami menjadi pasangan room-mate yang paling kompak. Kita saling support. Teman-teman dekatku menjadi teman dekatnya juga. Begitu pula teman-temannya juga menjadi temanku. Waktu telah membuat sikap kami saling mempengaruhi satu sama lain. Aku masih ingat kala itu setiap pagi dia suka ngomel sambil buka jendela, “Bangun, Mate! Gak shalat Subuh, lu? Ingat siksaan di neraka kalau ninggalin shalat. Siapa yang kasih lu rezeki? Tuhan! Tau lu…”

Awalnya aku hanya mengabaikan. Namun, lama-lama omelan-omelan itu berdengung kencang bagaikan suara rombongan lebah di telingaku. Kesal? Pasti itu. Tapi, dengungan lebah itu telah membuatku sadar. Dengungan itu membuatku kembali mengingat omelan yang sama dari Mams saat aku masih dirumah. Sombongnya aku selama ini.

 

Kami sering pergi berdua ke pusat keramaian. Disinilah uniknya. Tidak sedikit orang merasa asing melihat kami. Dikira homoseksual? Of Course, Not!! Mereka aneh melihat kostum yang kami kenakan. Room-mate ku sangat anggun dengan jilbab yang labuh hingga menutup perutnya. Dipadu dengan gamis longgar berwarna gelap. It’s opposite me!!! Aku santai dengan baju kaos denim dan celana jeans selutut. Dia pakai sepatu lengkap dengan kaos kakinya, sedangkan aku cuma pakai sandal jepit.

Aku sangat kesal saat mereka memandang kami, terutama aku, dengan tatapan aneh. Rasis banget, sih! Hingga seorang temanku dari Thailand mengajak kami menginap di rumahnya. Gadis itu memperkenalkan kami kepada ayahnya. Di sesi makan malam bersama, kami berbagi cerita tentang budaya negara masing-masing. Ayah gadis itu sangat suka dengan Indonesia dan keramahan penduduknya. Banyak sekali pertanyaan yang diajukannya kepada kami. Dari sekian banyaknya pertanyaannya aku jawab dengan santai, hingga ia bertanya, “Are you Moslem?” kosa kataku seakan lari dari ingatan.

Meskipun minoritas, muslim Thailand sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bagi mereka, setiap muslimah haruslah menutup aurat. Bukannya free hair seperti aku.

OK! That’s fine. Aku mau pakai jilbab.

Gadis muslim Thailand saja tidak takut didiskriminasi karena jilbabnya. Aku? Takut terlihat kuno? Hmmm…takut diledekin waktu pertama kali pakai jilbab? Waktu itu belum ada hijaber yang cantik seperti sekarang. Aku galauu!!

Pakai apa nggak, yah?

Saat aku galau, Paps adalah tempat aku cerita. “Paps, anaknya mau pakai jilbab, nih.” ceritaku via telepon. Dengan lantangnya Paps menjawab, “Yakin, Dis? Pikir-pikir dulu lah!”…ini jawaban yang sangat tidak aku harapkan…

Ternyata, disinilah letak hikmahnya. Aku memutuskan untuk berubah bukan karena perintah dan dorongan siapa pun. Mereka adalah influencer bukan decision maker…

Nah, tepat 5 tahun yang lalu, 10 Dzulhijjah 1431 H, aku memutuskan untuk berpakaian selayaknya muslimah, menutup aurat. Aku telah mematahkan pendapatku sendiri, bahwa hati harus bersih dulu sebelum pakai jilbab.

Kapan mau baiknya. Merubah kostum aja susah, apalagi merubah pola pikir.

Aku telah melakukan hal sebaliknya. Aku mulai berproses menjadi muslimah yang baik sejak aku mengenakan jilbab. Jilbab bukanlah penentu kadar keimanan seseorang. Namun, jilbab adalah identitas seorang muslimah.

***

“Bukak lah jilbabnya lagi I. Udah bauk kambing Qurban nih!”

Hmmm…belum tau dia kalau orang udah insaf…

😀

***

Meskipun mentalitas dan kemampuan humanitas cukup membuat orang sukses dalam ukuran materi dan sosial, namun ternyata manusia masih membutuhkan satu dimensi lain yaitu Spiritualitas yang menjawab tentang makna tertinggi kehidupan. (Ary Ginanjar Agustian)

SELAMAT IDUL ADHA 1436 H yah, Gaess…

By. Riri A